Pengalaman dan Sharing Pembelajaran Adaptasi perubahan iklim wilayah pesisir di Thailand (bagian 1)



Pada bulan agustus 2013, untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Thailand. Kunjungan saya ini bertujuan untuk belajar tentang praktek terbaik menurut mereka menangani dampak perubahan iklim di wilayah pesisir. Saya sangat bersyukur karena dapat bertemu dengan pelaku kegiatan dengan melakukan diskusi sharing pengalaman dan kunjungan lapangan ke priority action project dari masing - masing Desa yang dikunjungi. Kunjungan saya ke Thailand disponsori oleh CARE Internasional yang melakukan program Adaptasi perubahan iklim wilayah pesisir di dua negara Thailand dan Indonesia. Kami berjumlah 16 Orang dengan berbagai latar belakang. Ada dari masyarakat maupun dari pemerintah Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Bone dan Wajo. Kegiatan ini didampingi oleh Staff CII jakarta, Program manajer maupun Fasilitator dari keempat kabupaten. Saya sendiri adalah koordinator fasilitator Kabupaten Luwu.
Perjalanan dari makassar tidak ada penerbangan yang langsung menuju bangkok, saya harus transit dulu di jakarta, lalu melanjutkan penerbangan ke bangkok. Saya dan tim terbang menggunakan garuda Indonesia Airline dari makassar ke jakarta dan dari jakarta ke bangkok Thailand. Dua jam perjalanan dari makassar ke jakarta dan 3 jam dari jakarta ke Bangkok Thailand.
Terbang menggunakan garuda Indonesia Airline sangat menyenangkan, pramugari yang ramah, tontonan yag beragam yang diasiapkan berdasaran minat penumpang. Sebagai warga negara asing yang akan masuk ke Thailand, saya tidk lupa untuk mengisi immigration form yang dibagikan di atas pesawat.
Kami mendarat pukul 17.45 waktu setempat (tidak ada perbedaan waktu dengan jakarta) di Svurnabhumi International Airport Bangkok dengan mulus. Kesan pertama setelah mendarat di Svurnabhumi International Airport Bangkok adalah bukan main ramai dan besarnya bandara ini. Dari beberapa sumber didapat bahwa luas terminal bandara 563.000 meter persegi, menjadikan bandara ini sebagai salah satu bandara yang tersibuk di Asia tenggara.


 Bandar Udara Suvarnabhumi adalah bandara internasional yang melayani kota BangkokThailand, merupakan bandara yang menggantikan Bandara Internasional Don Muang. dan dibuka secara resmi pada tanggal 15 September 2006. Bandara ini terletak di Racha Thewa, di distrik Bang Phli, provinsi Samut Prakan, sekitar 25 kilometer sebelah timur Bangkok. Nama Suvarnabhumi dipilih oleh Raja Bhumibol Adulyadej yang artinya tanah emas.

Dari bandara kami menuju Hotel AMARI Dong Muang  dengan menggunakan mobil minivan yang telah dicarter oleh panitia pelaksanan kegiatan. Saya dan rombongan tiba di hotel pada pukul 20.17. Hotel Amari Dong muang sangat dekat dengan Bandara Internasional Don Muang.  
Kegiatan hari pertama
Setelah istirahat sebentar di hotel, saya dan kawan kawan keluar untuk jalan - jalan sekitar hotel sekaligus mencari makan. Dari awal saya sudah berfikir akan sulit mencari makanan halal dan pilihan pertama saya pasti mencari makanan fastfood. Ternyata fikiran saya ini salah karena di bangkok banyak perkampungan muslim, dimana terdapat rumah makan yang menjual makanan halal.  Pilihan saya adalah makan di penjaja kaki lima yang menjual makanan halal yang ada di sekitar hotel tempat kami menginap.  Setelah makan,  kami langsung pulang kehotel, dan tidak lupa kami mengabadian dan foto bersama disepajang perjalanan menuju hotel.


Kegiatan hari kedua
Esok paginya sekitar jam 05.00 kami sudah siap berangkat, namun sebelumnya tim dibagi dua, tim A akan melakukan perjalanan menuju ke Krabi dan Trang Sementara tim B akan melakukan perjalanan ke wilayah provinsi Chumphon dan Nakhom Sri Thammarat, Saya masuk kedalam tim B.
Setelah check out dari hotel Amari Don Muang, saya berjalan kaki melewati escalator menuju bandara Don Muang Airport dengan jaraknya kurang lebih 500 meter dari Hotel tempat saya menginap.

Tepat jam 08.21 waktu setempat, saya berangkat menuju provinsi Chumphon menggunakan Maskapai Nokair. Kami didampingi oleh Lisa hesse kebangsaan jerman yang tinggal di Thailand dan sudah sangat pasih berbahasa setempat.
Perjalanan dari Don Muang Airport ke Chumporn airport ditempuh dengan waktu kurang lebih 1 (satu) jam.  09.39 Setelah tiba di Chumporn Airport, saya  dijemput oleh Tassanee Surawana dan Anucha Abdulgaday dari Raks thai Foundation, Untuk selanjutnya dengan  minivan menuju lwilayah Bangson Municipility. Pukul 10.19 saya tiba di Learning Centre Bangson Community. Bangunan ini dibangun oleh salah satu Universitas di Chumporn sebagai pusat belajar dan informasi bagi Nelayan setempat . Di wilayah ini saya bertemu dengan Time Teknis Kecamatan/subdistrict  dan Institut Ladkrabang serta Komunitas pesisir wilayah kecamatan/Subdistrict Bang son.
Sebelum saya dan teman -teman melakukan diskusi dan kunjungan lapangan, pihak tuan rumah menyuguhkan makan siang. Dengan berbagai hidangan seafood tetapi  saya merasa aneh karena hidangan yang di sajikan memakai  bumbu yang tidak biasa bagi lidah saya.
Setelah istirahat dan makan siang sekitar 1 jam, selanjutnya kegiatan diskusi dan pemutaran film terkait kegiatan adaptasi perubahan iklim di wilayah ini. Tassanee Surawana, sebagai moderator dalam bahasa inggeris menyampaikan bahwa Matapencaharian masyarakat subdistrict Bang son adalah : 1) Nelayan Tangkap dengan perahu kecil, 2) Nelayan Pembudidaya tambak ikan dan udang, 3) Petani Kelapa Sawit, pohon karet,dan sektor pertanian lainnya walaupun pekerjaan ini umumnya dilakukan jika sekembali dari melaut.
Selanjutnya dia menyampaikan bahwa 10 tahun terakhir di Subdistrict Bang son, Komunitas Pesisir di Desa merasakan dampak dari perubahan iklim, yaitu : 1) Terjadinya kenaikan air laut di wilayah pemukiman mereka sehingga harus berpindah sampai 5 kali ke daratan, 2) Terjadinya abrasi sehingga memaksa mereka untuk memindahkan rumah mereka ke arah darat sebanyak 5 kali. 3) Terjadinya musim kemarau yang lebih panjang dari musim hujan (musim hujan lebih pendek).  Apabila terjadi hujan maka sangat lebat, sehingga terjadi banjir menyebabkan usaha perikanan budidaya tambak mengalami kegagalan.
Dengan adanya dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat pesisir di wilayah ini maka prioritas proyek adaptasi yang dilakukan diwilayah ini adalah : budidaya ikan Karamba jaring apung dan restorasi mangrove (mangrove restoration).
Karamba jaring Apung diprioritaskan pada nelayan skala kecil yang hidupnya tergantung dengan penangkapan ikan dilaut. Mereka dibatasi oleh angin kencang dan gelombang  tinggi  sehingga banyak waktu istirahat. Pada waktu istirahat inilah mereka melakukan upaya budidaya ikan sistem keramba jaring apung. Dalam kegiatan ini ada 3 lembaga yang berperan yaitu 1) pemerintah yang berperan memberikan bantuan bibit ikan dan Pondok informasi sebagai pusat pembelajaran masyarakat yang tinggal di wilayah ini. 2) perguruan tinggi yanng berperan memberikan bantuan teknis dan informasi terkait kegiatan yang akan dilaksanakan dan 3) program RTF- BCR CC yang berperan memberikan peningkatan kapasitas bagi masyarakat dan menstimulan akademisi dan Pemerintah untuk mensupport kegiatan masyarakat.
Restorasi Mangrove dilakukan untuk merestorasi fungsi ekologi hutan mangrove yang rusak , mendapatkan nilai tambah dari hutan mangrove yang ada, dan media pembelajaran bagi generasi muda. Kegiatan yang dilaksanakan adalah menjadikan hutan mangrove yang ada untuk kegiatan ekowisata dengan membuat contoh Jalan setapak untuk akses jalan menjangkau mangrove di sekitar wilayah tersebut. Diharapkan dengan adanya jalan setapak disekitar mangrove, Pengenalan komunitas khususnya kaum muda lebih tahu tentang  mangrove serta menjaga kondisinya. Semua pegunjung yang datang disyaratkan untuk menanam mangrove. Kegiatan ini didukung oleh pemerintah serta perguruan tinggi setempat baik dana maupun, kebun bibit serta pengetahuan tentang mangrove.
Karena masih ada agenda lainnya diskusi bersama Time Teknis Kecamatan/subdistrict  dan Institut Ladkrabang serta Komunitas pesisir wilayah kecamatan/Subdistrict Bang son diakhiri selanjutnya peninjauan lapangan hutan mangrove yang ada di wilayah Subdistrict Bang son  yang sudah direstorasi. Kegiatan ini sampai pukul 14.49.

Perjalanan selanjutnya menuju wilayah sub district Chumko, Bertemu dan diskusi bersama dengan komunitas Nelayan di subdistrict Chumkho dan pengelola Fish House.
Sama halnya di Subdistrict Bang son, dampak perubahan iklim diwilayah ini sangat merugikan nelayan kecil sehingga kegiatan adaptasi yang mereka lakukan adalah 1) membuat marine animal Habitat Restoration (artificial coral reef/Fish Hause), 2) Ecological Mangrove Restoration.  Sebenarnya fish house ini juga banyak dibuat oleh nelayan indonesia tetapi bentuk dan cara pasangnya yang berbeda.
pengelola Fish House (karang buatan/artificial coral reef) yang berjumlah 15 orang. Bercerita bahwa sejak adanya fish house, mereka memperoleh jenis ikan yang baru yang sebelumnya jarang mereka dapatkan. Dengan fish house mereka dapat memancing dan menangkap ikan diseputaran pesisir pantai.
Dalam diskusi menunjukkan bahwa peran dari King Mongkut Institut Technology cukup besar membantu mereka dalam teknik pembuatan karang buatan, juga RTF BCR CC mensupport dalam capacity building.
Dalam diskusi yang saya ikuti, Pihak Chumkoo Intitut menceritakan secara garis besar  tentang prasyarat dan konsutruksi Fish house di Chumkoo yaitu diawali dengan Pemilihan lokasi, kemudian Memilih daerah disepakati oleh nelayan lokal, selanjutnya Melakukan survei pada  ketersediaan ikan dan kondisi lingkungan. Selain itu harus Meminta izin dari Departemen Perikanan, Departemen Sumber Daya Pesisir dan Laut, dan Angkatan Laut untuk mengantisipasi  tumpang tindih tempat fish house  dengan aneka aktivitas lain di area pantai.

kegiatan adaptasi yang mereka lakukan selanjutnya adalah restorasi Mangrove yang mereka sebut sebagai Ecological Mangrove Restoration.  Bentuk adaptasi ini dilakukan karena adanya Dampak perubahan iklim seperti erosi pantai, banjir, dan kenaikan permukaan laut memiliki efek yang besar pada kehidupan masyarakat. Masyarakat sasaran memutuskan untuk menerapkan restorasi mangrove di daerah terdekat. Beberapa komunitas di wilayah ini membuat bank benih Mngrove dan pembibitan pohon Mangrove  sebagai bentuk partisipasi seluruh masyarakat untuk membantu hutan mangrove semakin meningkat. Beberapa masyarakat menggunakan metode  ecological mangrove restoration (EMR) pada wilayah tambak udang yang tidak dapat digunakan lagi untuk menanam mangrove guna perluasan hutan mangrove sehingga menjadi wilayah  perkembangbiakan biota perairan. 
Setelah selesai berdiskusi, selanjutnya kami dibawa ke tempat yang akan dipasangi fish house dan  mengunjungi wilayah mangrove yang sudah direstorasi sebagai tempat akhir kunjungan kami di wilayah sub district Chumko, selanjutnya kami melakukan perjalanan menuju tamtonggae  sub diatrict Darn Sawee, Chumporn Province dan tiba sekitar pukul 18.50 sore. Setelah tiba, oleh panitia kami ditempatkan di Homestay pusat belajar dan informasi yang terletak dipinggir laut.  Kegiatan pada malam hari tidak ada hanya bercengrama sesama tim untuk melepas rasa capek.

Komentar